KUMPARAN DOA & ARTIKEL BERBAGAI SUMBER
ARTIKEL DAKWAH
Ketika Harus Nafsi-nafsi di Hari Kiamat
Allah SWT berfirman: Dan jagalah diri kalian dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun, dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong(Al Baqarah 48)
Ketika menikmati aliran keindahan bahasa Al Qur’an, sebelumnya memerintahkan ingat akan nikmat Allah SWT, kemudian Allah memerintahkan untuk takut akan hari pembalasan, seakan ingat dan takut adalah dua hal yang sangat korelatif.
Mengapa kita disuruh banyak ingat mati, karena kita akan banyak takut akan beratnya kematian. Mengapa kita disuruh banyak ingat akan nikmat, karena kita akan takut betapa susahnya ketika nikmat tak ada dalam diri kita. Mengapa kita disuruh ingat selalu kepada Allah, karena kita akan selalu takut ketika akan melakukan yang Allah tak ridho dengan kita.
Ketika ayat 48 surat Al Baqarah mengatakan, Dan jagalah diri kalian dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun, dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong maka ini mengindikasikan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk takut akan hari kiamat, untuk menjaga diri dari segala keburukan kiamat.
Kata ittaqu dalam bahasa Arab berasal dari kata waqa, yaqi, wiqayatan yang bermakna mencegah, takut . Ketika mendapatkan tambahan huruf Alif dan ta menjadi ittaqa yang sering dimaknai takwa. Sehingga prinsip takwa adalah mencegah, takut. Orang yang takut kepada Allah, akan lebih mampu mencegah dari segala keburukan, orang yang mencegah dari maksiat menunjukkan dirinya takut kepada Allah.
Surat Al Baqarah ayat 48, Allah SWT mengajak manusia melakukan metode berfikir futuristik, membayangkan bagaimana keadaan dihari kiamat, ketika manusia akan menjadi penanggung jawab bagi dirinya sendiri, ketika tak ada penolong apalagi pelindung bagi dirinya.
Kemampuan berpikir ini sangat penting bagi manusia, untuk menghadirkan kelembutan hati, sehingga iman hadir dalam diri seseorang. Ketidak mauan berfikir akan hal ini melahirkan rasa cuek seakan tak ada akhirat kelak, bahkan seakan hidup berhenti setelah kematian.
Orang beriman akan mendapatkan banyak value dalam ayat tersebut, sehingga mereka akan sangat berhati-hati dalam hidupnya:
Yang pertama, tidaklah manusia dibalas kecuali dengan amalnya.
Ini adalah kondisi hari kiamat ketika manusia akan menghadap Allah SWT dengan kesendirian dirinya (Nafsi-nafsi), kecuali mereka yang mengikuti jalan para nabi dan rasul dengan tulus ikhlas. Bagi mereka yang sombong seperti Bani Israil, mereka akan merasakan kesulitan, karena kawan mereka di dunia tidak ada yang menjadi penolong, bahkan membantupun tidak.
Mereka di dunia merasa memiliki kelompok, komunitas besar, tetapi diakhirat mereka tak mendapatkan apa-apa dari komunitas tersebut, mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan keluargapun lari dari mereka, bersedih pun tidak melihat kesulitan dirinya di akhirat.
Berbeda dengan orang beriman yang selalu bersama keimanannya, kelompok orang beriman, mereka akan saling membantu dan menolong diakhirat, apalagi syafaat Rasulullah saw.
Yang kedua, tidak diterima syafaat dan perlindungan
Inilah nasib orang kafir, seperti Bani Israil, mereka tak ada sedikitpun syafaat dan perlindungan dari siapapun, walaupun harta mereka telah mereka curahkan untuk membantu manusia, tetapi karena mereka tidak beriman kepada Allah, maka tak ada pertolongan yang sampai kepada mereka.
Disinilah pentingnya iman, iman akan menjadi daftar absen, bagi siapa yang akan mendapatkan syafaat nabi, akan mendapatkan perlindungan saudaranya, karena pengait itu semua adalah iman.
Kesombongan manusia akan amalnya, harus dihilangkan, karena amal manusia tak bernilai tanpa iman dalam dirinya.
Kurang berjasa apa Firaun dalam membangun Mesir, Namrud di Babilonia, Qarun dengan besarnya kariawan dan pegawainya, tetapi karena iman tak ada dalam dadanya, semua tak bermanfaat di akhirat. Saat ini betapa banyak orang merasa berjasa, menyediakan lapangan kerja, temuan ilmiah menggerakkan ekonomi dunia, tapi dia tidak beriman, maka sungguh akan menjadikan dirinya rugi di akhirat, karena absen kebaikan berawal dari imanya.
Ketiga, tak ada pertolongan Allah
Orang kafir tak akan mendapatkan pertolongan Allah diakhirat, berbeda dengan orang beriman, yang Allah SWT akan beri pertolongan walau hanya ada iman di dalam hatinya sebesar biji sawi.
Ini menunjukkan bahwa besarnya efek iman. Sehingga manusia harus mampu memfokuskan diri pada iman, dengah iman hadir amal Sholih. Jangan terlena dengan amal Sholih, tapi beramal tanpa iman, yang akhirnya lupa dengan berbagai capaian duniawi, gemuruh sorak Sorai orang yang kagum pada dirinya,.
Iman adalah kunci selamat diakhirat, ketika kita benar-benar yakin dalam dada kepada Allah SWT dan segala unsur keimanan, dan tidak ragu sedikitpun.
Dengan inilah banyak orang yang nanti kecele (bahasa Jawa) karena merasa beramal, berjasa besar di dunia tapi di akhirat amalnya hilang dan tak tercatat sedikitpun, mengapa ? Karena mereka beramal tanpa iman. (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya(Al Kahfi 104).
Insan profetis akan menjadikan iman sebagai dasar dalam beramal ilmiah dan berilmu amaliyah, karena mereka orang yang yakin ada balasan setelah kematian. Apa yang mereka lakukan adalah ibarat menanam biji tumbuhan yang akan menghasilkan batang, ranting, daun dan buah, semuanya berawal dari biji apa yang mereka tanam. Jika biji iman maka akan membuahkan iman. Tetapi jika biji racun, maka capeknya mereka akan ditebus dengan kehancuran dirinya karena mendapatkan racun di dalam buah mereka.
Maka jangan remehkan iman, yang mana dia adalah Jauhar atau inti hidup yang tak nampak, tapi mampu kita rasa. Jangan sombong dengan yang nampak, karena itu hanya pendamping (aradh) yang sangat fana, jangan terlena dengan apa yang kita lakukan, tapi fokus karena siapa kita melakukan dan untuk mendapatkan apa?
Seri Bahagia dengan Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)
Tahun Baru Islam
Tahun Baru Islam atau Tahun Baru Hijriah merupakan suatu hari yang penting bagi umat Islam karena menandai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam yaitu memperingati hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Kota Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.
Tahun Baru Islam adalah tahun yang dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Makkah ke Madinah. Hijrah merupakan peristiwa penting dalam sejarah Islam karena menjadi awal mula berdirinya negara Islam yang pertama di Madinah.
Ibnu Hajar Al-Asqalani yang juga ahli sejarah dalam Kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari membahas sejarah tahun baru atau penanggalan kalender Islam dalam Bab Tarikh. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M/1424 H], juz VII, halaman 307). Al-Asqalani mengangkat persilangan pendapat perihal sejarah awal tahun baru Islam. Al-Hakim meriwayatkan dari Syihab bin Zuhri bahwa Nabi Muhammad saw tiba di Madinah lalu memerintahkan penulisan sejarah pada bulan Rabiul Awwal. Tetapi riwayat ini lemah karena perawinya hilang dua atau lebih secara berturut-turut (mu’dhal). Adapun pendapat yang masyhur mengatakan bahwa penetapan awal tahun baru Islam terjadi pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar bin Khattab ra (634-644 M/13-23 H) setelah sahabat Abu Bakar ra (632-634 M/11-13 H).
Para sahabat menetapkan awal tahun baru Islam berdasarkan peristiwa hijrah melalui firman Allah perihal pembangunan masjid Kuba, “La masjidun ussisa alat taqwā min awwali yawmin” atau “Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama (Surat At-Taubah ayat 108). Kata “awwali yawmin” atau “sejak hari pertama” sebagaimana sudah sama-sama maklum tidak berarti hari pertama secara mutlak, tetapi hari di mana waktu pertama kemuliaan Islam, hari di mana Nabi Muhammad saw beribadah dengan rasa aman, dan hari di mana Rasulullah saw dan umat Islam membangun pertama kali sebuah masjid sebagai rumah ibadah.
Selanjutnya dijelaskan di dalam Al Qur’an surat At-Taubah ayat 36) ; “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang haram itu, dan bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu menemui mereka, dan tangkaplah mereka dan kepunglah mereka dan intai tempat-tempat perkumpulan mereka. Maka jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka lepaskanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Para sahabat sependapat bahwa peristiwa tersebut menjadi awal mula penanggalan kalender tahun baru Islam. Kita juga memaklumi bahwa “awwali yawmin” atau “sejak hari pertama” pada Surat At-Taubah ayat 108 merupakan hari Nabi Muhammad saw dan sahabatnya memasuki Kota Madinah. “Sahal bin Sa’ad mengatakan, ‘Para saahabat tidak mengitung hari kenabian-kerasulan Nabi Muhammad saw atau hari wafatnya sebagai awal tahun baru Islam. Mereka mengitung awal tahun baru Islam dari hari Nabi Muhammad saw tiba di Kota Madinah,’” (HR Bukhari).
Adapun riwayat Al-Hakim menyebutkan bahwa banyak orang keliru. Mereka mengitung bukan sejak Nabi Muhammad saw tiba di Madinah, tetapi sejak tahun wafatnya. Menurut Al-Hakim, informasi ini yang justru keliru. Mereka justru mengitung tahun tiba Nabi Muhammad saw di Kota Madinah. Adapun yang dimaksud dengan “Banyak orang keliru” adalah kelalaian dan keabaian mereka. Tetapi mereka kemudian mencoba menemukan dan mengingatnya kembali. Al-Asqalani menambahkan, tidak ada keterangan pasti perihal bulan kedatangan Nabi Muhammad saw di Madinah. Sedangkan sejarah teritung pada awal tahun.
Setidaknya ada empat opsi yang diperhatikan para sahabat untuk menentukan awal tahun baru Islam, yaitu waktu kelahiran (maulid), waktu pengangkatan kenabian-kerasulan, waktu hijrah ke Madinah, dan waktu wafat Nabi Muhammad saw.
Bagi sebagian sahabat, waktu hijrah lebih pasti dalam ingatan mereka. Sedangkan waktu (tahun) kelahiran dan pengangkatan kenabian-kerasulan Nabi Muhammad saw diperselisihkan di kalangan mereka. Adapun waktu wafat Nabi Muhammad saw dihindari oleh mereka karena hanya melahirkan kesedihan sehingga pilihan penentuan tahun baru Islam jatuh pada peristiwa hijrah. (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: VII/307).
Para sahabat bertekad bulat (‘azam) untuk berhijrah pada bulan Muharram. Adapun baiat atau perjanjian untuk berhijrah terjadi pada pertengahan Dzulhijah yang menjadi pendahuluan hijrah. Sedangkan bulan (hilal) pertama yang tampak setelah baiat dan ‘azam untuk berhijrah jatuh pada bulan Muharram. Jadi Muharram cukup relevan dijadikan awal tahun baru Islam. (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: VII/307). (Alhafiz Kurniawan)
Demikian penjelasan lengkap tentang Tahun Baru Islam, semoga bermanfaat.
Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW
Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa agung, yaitu Allah Subhanahu Wa Taala (SWT) memberikan keistimewaan pada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) untuk melakukan perjalanan mulia bersama malaikat Jibril mulai dari Masjidil Haram Makkah menuju Masjidil Aqsha Palestina. Kemudian dilanjutkan dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah SWT sang pencipta alam semesta.
Secara bahasa, Isra’ berarti perjalanan malam dan Mi’raj berarti terbang ke langit. Secara istilah, Isra’ Mi’raj adalah peristiwa turunnya Nabi Muhammad SAW dari Baitul Maqdis ke seluruh langit sampai ke hadirat Allah SWT.
Kejadian Isra’ Mi’raj terjadi pada malam yang ke-27 Rajab tahun ke-8 kenabian yang jatuh pada tanggal 27 Februari 621 Masehi atau 17 Rabiiul Awwal 599 Hijriah. Nabi Muhammad SAW dibawa oleh Malaikat Jibril dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis. Setelah itu, baginda menaiki buraq ke langit.
Hadist tentang Isra’ Mi’raj
Hadits yang terperinci tentang peristiwa Isra’ Mi’raj tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim, yaitu:
- Dari Abu Dzar r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Aku disampaikan buraq yang putih lebih cepat dibanding kilat cahaya. Kemudian aku diangkut sampai ke langit bawah.”
- Dari Ibnu Abbas r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Aku dibawa sampai ke Masjidil Aqsa, kemudian dibawa ke langit dan disampaikan pada masing-masing langit.”
Ayat Al Quran tentang Isra’ Mi’raj
Ada beberapa ayat Al Quran yang merujuk kepada peristiwa Isra’ Mi’raj, di antaranya:
- Surat Isra’ ayat 1:
- سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
2. Surat An-Najm ayat 1-18: Ayat-ayat ini menjelaskan perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Baitul Maqdis sampai ke Sidratul Muntaha
Rangkaian Peristiwa Isra’ Mi’raj
1. Nabi berangkat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang terletak di Baitul Maqdis dengan dibawa oleh Malaikat Jibril. Peristiwa ini disebut Isra’.
2. Setelah sampai di Masjidil Aqsa, Nabi bertemu dengan para Nabi lain untuk shalat.
3. Kemudian Nabi naik ke langit dengan dibonceng buraq yang dikendarai Malaikat Jibril. Perjalanan ini disebut Mi’raj.
4. Nabi melewati 7 langit dan bertemu para Nabi lain di setiap langit.
5. Nabi sampai ke hadirat Allah SWT dan diturunkan 5 waktu shalat kepada umat Islam.
Imam Bukhari mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dalam Shahih Bukhari, juz 5 halaman 52. Intisarinya adalah: Suatu ketika Nabi berada di dalam suatu kamar dalam keadaan tidur, kemudian datang malaikat mengeluarkan hati Nabi dan menyucinya, kemudian memberikannya emas yang dipenuhi dengan iman. Kemudian hati Nabi dikembalikan sebagaimana semula.
Setelah itu Nabi melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan mengendarai buraq dengan diantar oleh Malaikat Jibril hingga langit dunia, kemudian terdapat pertanyaan: Siapa ini? Jibril menjawab: Jibril. Siapa yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Selamat datang, sungguh sebaik-baiknya orang yang berkunjung adalah engkau, wahai Nabi.
Di langit dunia ini, Nabi bertemu dengan Nabi Adam Alaihis Salam (AS), Jibril menunjukkan bahwa Nabi Adam adalah bapak dari para nabi. Jibril memohon kepada Nabi Muhammad untuk mengucapkan salam kepada Nabi Adam, Nabi Muhammad mengucapkan salam kepada Nabi Adam, berikutnya Nabi Adam juga membalas salam kepada Nabi Muhammad.
Perjalanan dilanjutkan menuju langit kedua, di sini Nabi bertemu dengan Nabi Yahya dan Nabi Isa. Di langit ketiga, Nabi Muhammad bertemu Nabi Yusuf, di langit keempat dengan Nabi Idris, di langit kelima bertemu Nabi Harun, di langit keenam dengan Nabi Musa. Nabi Musa menangis karena Nabi Muhammad memiliki umat yang paling banyak masuk surga, melampaui dari umat Nabi Musa sendiri. Dan terakhir di langit ketujuh, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Ibrahim.
Setelah itu, Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntaha, tempat Nabi bermunajat dan berdoa kepada Allah. Kemudian Nabi naik menuju Baitul Makmur, yaitu baitullah di langit ketujuh yang arahnya lurus dengan Ka’bah di bumi, setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat masuk untuk berthawaf di dalamnya. Selanjutnya Nabi disuguhi dengan arak, susu, dan madu. Nabi kemudian mengambil susu, Jibril mengatakan: Susu adalah lambang dari kemurnian dan fitrah yang menjadi ciri khas Nabi Muhammad dan umatnya.
Di Baitul Makmur, Nabi Muhammad bertemu dengan Allah SWT dan mewajibkan melaksanakan shalat fardhu sebanyak lima puluh rakaat setiap hari. Nabi menerima dan dalam perjalanan bertemu Nabi Musa. Ia mengingatkan bahwa umat Nabi Muhammad tidak akan mampu dengan perintah shalat lima puluh kali sehari, Nabi Musa mengatakan: Umatku telah membuktikannya. Lalu meminta kepada Nabi Muhammad untuk kembali kepada Allah SWT, mohonlah keringanan untuk umatnya. Kemudian Nabi menghadap kepada Allah dan diringankan menjadi shalat sepuluh kali.
Kemudian Nabi Muhammad kembali , dan Nabi Musa mengingatkan sebagaimana yang pertama. Kembali Nabi menghadap Allah hingga dua kali, dan akhirnya Allah mewajibkan shalat lima waktu. Nabi Musa tetap mengatakan bahwa umat Muhammad tidak akan kuat. Nabi Muhammad menjawab: Saya malu untuk kembali menghadap pada Allah dan ridha serta pasrah kepada Allah.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Bidayah wa Nihayah, Sirah Nabawiyah, juz 2 halaman 94 menceritakan, keesokan harinya Nabi menyampaikan peristiwa tentang Isra’ Mi’raj terhadap kaum Quraisy. Mayoritas mereka ingkar terhadap kisah yang disampaikan Nabi Muhammad, bahkan sebagian kaum muslimin ada yang kembali murtad karena tidak percaya terhadap kisah yang disampaikan Nabi.
Melihat hal tersebut, Abu Bakar bergegas untuk membenarkan kisah Isra’ Mi’raj Nabi: Sungguh aku percaya terhadap berita dari langit, apakah yang hanya tentang berita Baitul Maqdis aku tidak percaya? Sejak saat itu sahabat Abu Bakar dijuluki dengan sebutan Abu Bakar as-Shiddiq, Abu Bakar yang sangat jujur.
Pelajaran Penting
Ali Muhammad Shalabi dalam Sirah Nabawiyah: ‘Irdlu Waqâi’ wa Tahlîl Ihdats, juz 1 halaman 209 menjelaskan setidaknya ada makna penting dari peristiwa ini.
1. Kemuliaan dan Keistimewaan Nabi Muhammad
Nabi Muhammad SAW baru saja mengalami hal yang amat menyedihkan, yaitu wafatnya Sayyidah Khodijah sebagai istri tercinta, yang selalu mengorbankan jiwa, tenaga, pikiran, dan hartanya demi perjuangan Nabi. Juga wafatnya sang paman, Abu Thalib yang selalu melindungi Nabi dari kekejaman kaum Quraisy. Allah ingin menguatkan hati Nabi dengan melihat secara langsung kebesaran Allah SWT. Sehingga hati Nabi semakin mantap dan teguh dalam menyebarkan agama Islam.
Ini memberikan pelajaran, bahwa siapa pun yang berjuang di jalan Allah, dan menegakkan agama, seperti dengan memakmurkan masjid, memakmurkan majlis ilmu, dzikir dan tahlil, Allah akan memberikan kebahagiaan dan keistimewaan.
2. Kewajiban Shalat Lima Waktu
Musthofa As Siba’i dalam kitab Sirah Nabawiyah, Durus wa Ibar, jilid 1 halaman 54 menjelaskan bahwa jika Nabi melakukan Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasadnya sebagai mukjizat. Karenanya, sebuah keharusan bagi tiap muslim menghadap (mi’raj) kepada Allah SWT lima kali sehari dengan jiwa dan hati yang khusyu’.
Dengan shalat yang khusyu’, seseorang akan merasa diawasi oleh Allah SWT, sehingga malu untuk menuruti syahwat dan hawa nafsu, berkata kotor, mencaci orang lain, berbuat bohong. Justru sebaliknya lebih senang dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan. Hal tersebut demi mengagungkan keesaan dan kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi makhluk terbaik di bumi.
3. Perjalanan Pertama Luar Angkasa
Dalam sejarah, perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha hingga Sidratul Muntaha adalah perjalanan pertama manusia di dunia menuju luar angkasa, dan kembali menuju bumi dengan selamat. Jika hal ini telah terjadi di zaman Nabi, 1400 tahun yang lalu, hal tersebut memberikan pelajaran bagi umat Islam agar mandiri, belajar, bangkit dan meningkatkan kemampuan, tidak hanya dalam masalah agama, sosial, politik, dan ekonomi, namun juga harus melek terhadap sains dan teknologi. Perjalanan menuju ke luar angkasa adalah sains dan teknologi tingkat tinggi yang menjadi salah satu tolak ukur kemajuan sebuah umat dan bangsa.
4. Membela Perjuangan Agama
Pada Isra’ Mi’raj ada penyebutan dua masjid, yaitu Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Hal tersebut memberikan pelajaran bahwa Masjidil Aqsha adalah bagian dari tempat suci umat Islam. Membela masjid tersebut dan sekelilingnya sama saja dengan membela agama Islam. Wajib bagi tiap muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk selalu berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan dan keselamatan Masjidil Aqhsa Palestina. Baik dengan diplomasi politik, bantuan sandang pangan, maupun dengan harta.
Demikian penjelasan lengkap tentang Isra’ Mi’raj, semoga bermanfaat. Isra’ Mi’raj merupakan salah satu mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW
Berdasarkan riwayat dari historiografer Islam abad ke-10 M Ibn Hisham, Nabi Muhammad SAW diperkirakan lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal, yang sesuai dengan tanggal 17 April 571 Masehi. Oleh karena itu, umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun pada tanggal 12 bulan Rabiul Awal menurut kalender Hijriyah.
Para pecinta nabi sudah memperingati momen agung ini setiap hari mulai dari awal sampai dengan akhir bulan. Bahkan ada yang melaksanakannya di luar bulan Rabiul Awal dan lebih dari itu ada pula yang menjadikan peringatan kelahiran Nabi sebagai acara di seluruh bulan.
Ini merupakan kecintaan atas anugerah datangnya manusia paling sempurna di muka bumi ini yang membawa risalah dari Allah SWT bagi manusia. Ekspresi kecintaan umat Islam di Indonesia pun diwujudkan dengan berbagai macam acara seperti pembacaan Barzanji (riwayat hidup Nabi), ceramah keagamaan, dan juga perlombaan, seperti lomba baca Al-Qur’an, lomba adzan, lomba shalawat, dan sebagainya.
Kemajemukan budaya bangsa Indonesia juga menghadirkan berbagai peringatan Maulid Nabi yang unik hasil perpaduan adat istiadat warga setempat. Masyarakat Madura memiliki tradisi Muludhen. Masyarakat Minang memiliki tradisi Bungo Lado. Warga Kudus mempunyai tradisi Kirab Ampyang. Dan, sebagian masyarakat lain menggunakan tradisi Grebeg Maulud.
Ahli Tafsir Al-Qur’an Prof Quraish Shihab mengungkapkan bahwa Maulid Nabi dirayakan dengan cara meriah baru dilaksanakan pada zaman Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa kekhalifahan Al-Hakim Billah. Menurutnya, inti dari perayaan Maulid Nabi adalah untuk memperkenalkan Nabi Muhammad SAW kepada setiap generasi. Kenal adalah pintu untuk mencintai. Sehingga dengan mengenal Nabi Muhammad SAW, maka umat Muslim bisa mencintainya.
Sementara Kiai Said menjelaskan bahwa Maulid Nabi merupakan sunah taqririyyah yaitu perkataan, perbuatan yang tidak dilakukan nabi, tetapi dibenarkan Rasulullah SAW. Memuji atau mengagungkan Rasullah SAW termasuk sunnah taqririyah karena tidak pernah dilarang oleh Rasulullah.
Ini terbukti saat salah satu sahabat yang bernama Ka’ab bin Juhair bin Abi Salma memuji-muji Nabi Muhammad dalam bait nadhom yang sangat panjang. Di hadapan Nabi Muhammad Ka’ab mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah orang hebat dan orang mulia. Mendengar pujian itu nabi tidak melarang, bahkan membenarkan. Malah Rasulullah memberi hadiah selimut bergaris-garis yang sedang Nabi pakai, yang dalam bahasa Arab dinamakan Burdah.
Sampai saat ini, burdah Nabi Muhammad pun masih ada dan diabadikan di Museum Toqafi Istanbul Turki. Itulah mengapa setiap ada qasidah atau syair yang isinya memuji Nabi Muhammad disebut qasidtul burdah.
Dalil Perayaan Maulid
Ternyata, memperingati Maulid bukan hanya dilakukan oleh umat Nabi Muhammad SAW saja. Nabi Muhammad sendiri juga memperingati kelahirannya dengan berpuasa di hari Senin. Ketika ditanya oleh sahabat, “Kenapa engkau berpuasa ya Rasul? aku berpuasa karena di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula lah aku mendapatkan wahyu pertama kali,” jawab Nabi.
Berikut ini beberapa dalil syar’i peringatan Maulid dari Al-Qur’an dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah dalam QS Yunus ayat 58 yang artinya, “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58).
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 ini. [Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7].
Dalam kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani diceritakan pula bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah.
Ini membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakannya. [Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz 11, hal 431]. Riwayat senada juga ditulis dalam beberapa kitab hadits di antaranya Shohih Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan Syi`bul Iman. [Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi al-Kubra, Juz 7, hal 9, Syi`bul Iman, juz 1, hal 443].
Demikian penjelasan lengkap tentang Maulid Nabi Muhammad SAW, semoga bermanfaat.
Wajibkah Kita Sholat Berjamaah
Ketika kita membandingkan berbagai macam ibadah, maka akan kita dapati bahwa ibadah shalat memiliki keistimewaan tersendiri. Ia merupakan tiang agama yang mana tidak akan tegak agama ini kecuali dengannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ
“Pemimpin segala perkara (agama) ialah Islam, dan tiangnya ialah shalat” (HR At- Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Ibadah ini adalah amalan pertama yang akan dihisab pada hari Kiamat kelak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح له سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله
“Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk maka seluruh amalnya pun akan buruk.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mujamul Ausath)
Lebih spesifik lagi, shalat merupakan ibadah yang Allah wajibkan pertama kali, serta merupakan kewajiban yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan satu-satunya ibadah yang tidak akan gugur bagi siapapun dan dalam keadaan apapun kecuali ketika hilang akalnya atau terpisahnya ruh dari jasad.
Berjamaah
Wajib bagi laki-laki untuk melaksanakan shalat secara berjamaah di masjid. Kewajiban berjamaah bagi laki-laki di masjid didukung dengan dalil-dalil yang kuat, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa poin:
1. Perintah Allah untuk menjaga shalat bersama orang-orang yang shalat berjamaah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Peliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Juga firman-Nya,
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
2. Rasul telah mengancam orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah dengan hukuman yang keras
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan. Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjamaah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka (HR. al-Bukhari dan Muslim)
3. Rasulullah tidak memberikan keringanan kepada orang buta untuk shalat di rumahnya
Dalam sebuah hadits disebutkan,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga boleh shalat di rumah. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia baru meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah memanggilnya dan bertanya, “Apakah Anda mendengar panggilan adzan shalat ?” Dia menjawab, “Ya”. Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kalau begitu penuhilah!” (HR. Muslim)
Dan dalil-dalil lain yang menguatkan tentang kewajiban shalat berjamaah bagi pria.
Di Antara Tiga Golongan
Tidaklah seseorang meninggalkan shalat jamaah kecuali 3 golongan saja,
Golongan pertama: Memiliki udzur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر
“Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, namun ia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya kecuali apabila ada udzur padanya” (HR. Ibnu Majah)
Golongan ke-2: Wanita
Shalat di masjid tidak wajib bagi wanita. Seorang wanita diperbolehkan keluar menuju masjid untuk shalat berjamaah, akan tetapi shalatnya mereka di rumah lebih utama.
Dari Ummu Humaid radhiallahu anha, beliau berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ
“Wahai Rasulullah, saya ingin shalat bersama Anda.” Maka Nabi menjawab: “Aku sudah tahu bahwa engkau ingin shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Golongan ke-3: Munafik
Orang-orang munafik shalat karena manusia, bukan karena Allah. Maka dapat kita lihat bahwa mereka hanya shalat di waktu-waktu yang terlihat oleh manusia, yakni di siang hari. Mereka meninggalkan shalat Subuh dan Isya, dan tidaklah mereka shalat kecuali dengan dipenuhi rasa malas.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ، وَصَلَاةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Andaikata mereka mengetahui pahala yang ada pada kedua shalat itu pastilah mereka melaksanakannya meskipun dengan merangkak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu mas’ud radhiallahu anhu berkata,
“Aku telah melihat bahwa kami tidak akan meninggalkan shalat jamaah kecuali orang munafik sejati.”
Itulah tiga golongan orang yang meninggalkan shalat jamaah. Wallahu a’lam bis showab.
(Arif Ardiansyah, Lc)
Sumber: al-Bisharaatu an-Nabawiyah syaikh Shalih bin Thoha Abdul Wahid
Beberapa Hal Yang Perlu Kita Ketahui Seputar Bulan Muharram
Alhamdulillah, tak terasa saat ini kita sudah bertemu kembali dengan bulan Muharram, salah satu bulan yang mulia. Sebagai seorang muslim, sudah sepantasnya bagi kita untuk mengetahui atau mengingat kembali hal-hal seputar bulan Muharram ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Bulan Muharram merupakan bulan Allah
Allah ta’ala menyandarkan bulan Muharram kepada Dzat-Nya sebagai bentuk kemuliaan bulan Muharram. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram.” (HR. Muslim)
2. Allah mengagungkan perkaranya di dalam Al-Quran.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)
Nabi shalallahu alaihi wasallam menyebutkan di dalam haditsnya keagungan bulan Muharram. Di dalam Shahihain dari hadits Abu Bakrah semoga Allah meridhainya, dari Nabi shalallahu alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda,
إنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya waktu berputar ini sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Di antara dua belas bulan itu, ada empat bulan suci (Syahrul Haram). Tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar; antara Jumadi tsaniah dan Syaban.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Banyak ulama yang menguatkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang utama dari bulan-bulan haram.
Pengharaman kedzaliman di bulan-bulan haram dibanding bulan-bulan lainnya.
3. Kerasnya Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)
Syaikh as-Sa’di mengomentari ayat tersebut; “Bisa jadi kata ganti (dalam ayat) kembali kepada dua belas bulan, dan bisa jadi kata ganti kembali kepada 4 bulan haram sehingga dilarang berbuat dhalim di dalam 4 bulan haram sebagai pengkhususan mengikuti larangan berbuat dhalim dalam setiap waktu, untuk lebih menguatkan larangannya karena berbuat dhalim di dalam bulan-bulan haram lebih keras pengharamannya dibanding di bulan-bulan lainnya.
4. Larangan berperang
Sebagian mengatakan dinamakan bulan Muharram karena larangan berperang di dalamnya.
5. Disunnahkan puasa pada bulan Muharram.
Keutamaan ini disebutkan dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram.” (HR. Muslim)
Para ulama berselisih pendapat apakah puasa pada seluruh hari di bulan Muharram atau sebagian besarnya. Secara dhahir haditsnya menunjukkan keutamaan berpuasa di seluruh hari di bulan Muharram. Namun sebagian ulama menguatkan bahwa maksudnya adalah berpuasa di sebagian besar hari di bulan Muharram bukan seluruhnya.
6. Puasa yang paling utama di bulan Muharram adalah puasa Asyura yaitu hari kesepuluh Muharram.
Keutamaannya adalah menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ketika ditanya tentang puasa Asyura, beliau menjawab,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Keutamaan ini didapatkan oleh seorang muslim meskipun hanya puasa 1 hari di tanggal 10 Muharram saja dan hal ini bukan perkara yang makruh sebagaimana fatwa al-Lajnah ad-Daimah.
7. Hikmah dari Puasa Asyura
Ada penjelasan hikmah dari puasa Asyura dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasannya Nabi shalallahu alaihi wasallam ketika tiba di Kota Madinah beliau mendapati mereka (Kaum Yahudi) berpuasa Asyura. Mereka berkata, “Ini adalah hari yang istimewa, karena hari ini Allah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Fir’aun serta bala tentaranya. Maka Nabi Musa berpuasa sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah ta’ala. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
“Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka.“
Kemudian Nabi berpuasa dan memerintahkan para Shahabat untuk berpuasa. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
8. Disunnahkan untuk berpuasa hari ke 9 Muharram sebagai bentuk menyelisihi ahli kitab
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura dan beliau perintahkan para sahabat untuk melakukan puasa di hari itu, ada beberapa sahabat yang melaporkan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya tanggal 10 Muharram itu, hari yang diagungkan orang Yahudi dan Nasrani.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
“Jika datang tahun depan, insyaaAllah kita akan puasa tanggal 9 (Muharram).”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Namun belum sampai menjumpai Muharram tahun depan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat.” (HR. Muslim)
Demikian beberapa hal yang perlu kita ketahui seputar bulan Muharram. Semoga Bermanfaat. Wallahu a’lam.
Dikutip dari alukah.net oleh Ustadz Arif Ardiansyah, Lc. dengan sedikit perubahan.
Hati – hati Pahala Amalan Kita Dapat Terhapus Tanpa Kita Sadari
Kita semua telah memahami bahwa syarat sah diterimanya sebuah amalan adalah Al-Ikhlas dan Al-Ittiba. Al-Ikhlas yaitu memurnikan maksud dan tujuan beribadah hanya kepada Allah dan hanya untuk Allah, dan al-ittiba yakni meneladani, mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Namun, usaha kita sebagai seorang mukmin tidak berhenti sampai di situ, tugas kita bukan sekadar menyelesaikan sebuah amalan, karena ternyata ada tugas yang lebih berat dan tidak kalah penting dari sekadar beramal, yaitu mempertahankan pahala amalan agar tidak terhapus sia-sia.
Karena seikhlas apapun kita beramal, sebaik apapun kita telah berusaha mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tetap saja potensi terhapusnya pahala amal sangat bisa terjadi pada semua orang. Oleh karenanya, kita harus terus mengingatkan diri kita, keluarga kita, dan kaum muslimin agar tidak sekadar puas setelah beramal. Lebih dari itu, kita berharap agar Allah menerima amalan kita, serta kita merasa takut apabila amalan kita tidak diterima.
Berikut ini ada beberapa perkara yang bisa mengurangi bahkan menghapus pahala amalan, yang terkadang kita lakukan tanpa kita sadari. Perkara-perkara ini harus kita ketahui untuk dapat kita hindari.
1. Merasa ujub/bangga terhadap diri sendiri
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ ، وذكر منها : وإِعْجَابُ المَرْءِ بِنفسِهِ.
Artinya: “Ada tiga hal yang dapat membinasakan seseorang, di antaranya adalah merasa ujub terhadap diri sendiri.” (hadits ini hasan)
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ujub itu bisa membatalkan atau menghapus pahala amalan seorang hamba.”
Sebagai contoh, jika kita dimudahkan Allah untuk shalat tahajjud, maka jangan langsung memandang remeh orang yang kesulitan bangun malam. Jika kita dimudahkan oleh Allah untuk bersedekah, jangan langsung memandang remeh orang yang jarang terlihat bersedekah. Karena barangkali mereka yang kita pandang remeh memiliki amalan tersembunyi yang mereka lakukan dengan ikhlas, yang hanya dia dan Allah yang mengetahui. Karena pada dasarnya semua ibadah yang kita lakukan dan semua prestasi yang kita raih, semata-mata karena taufiq, pertolongan, dan kemudahan dari Allah azza wa jalla, bukan berasal dari kehebatan kita.
2. Mendzalimi dan menyakiti kaum muslimin
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu siapa orang yang bangkrut itu?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”
Tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku ialah, orang yang datang pada hari kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia suka mencaci maki dan (salah) menuduh orang lain, makan harta orang lain, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang yang terdzalimi itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikan pelaku dzalim. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim).
3. Bermaksiat di kala sendiri
Dari Tsauban radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia tidak tersisa sedikitpun.”
Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyepi (tidak ada orang lain yang melihatnya) dengan apa-apa yang di haramkan Allah, maka mereka terus (segera) melanggarnya.” (HR Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
4. Menyebut-nyebut sedekah sampai menyakiti hati orang yang diberi sedekah
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبۡطِلُوا۟ صَدَقَـٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ كَٱلَّذِی یُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَاۤءَ ٱلنَّاسِ وَلَا یُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Saking pentingnya menjaga perasaan orang lain yang menerima sedekah kita, sampai-sampai Islam memberikan keutamaan lebih bagi orang yang bersedekah secara diam-diam.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
سبعة يُظلُّهم الله في ظلِّه يوم لا ظلَّ إلا ظلُّه .. فذكر الحديث، وفيه : ورجلٌ تصدَّق بصدقةٍ فأخفاها، حتى لا تعلم شمالُه ما تُنفق يمينه.
“Tujuh golongan manusia yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, diantaranya adalah: seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaihi)
5. Meremehkan seorang mukmin yang berdosa
Di antara perkara yang dapat mengurangi bahkan menghapus pahala amalan selanjutnya adalah meremehkan seorang mukmin yang berdosa dengan mengatakan bahwa orang seperti fulan tidak mungkin diampuni Allah azza wa jalla, dengan menyebut individu orang tersebut.
Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajali, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bercerita:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ : وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ. وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ ؛ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ، وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ “. أَوْ كَمَا قَالَ
“Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata; ‘Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.’ Sementara Allah berfirman: ‘Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah memutuskan amal perbuatanmu.” Kurang lebih begitulah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Imam Muslim rahimahullah berkata bahwa hadits tersebut adalah larangan membuat seseorang putus asa dari rahmat Allah azza wa jalla.
Para ulama menjelaskan tidak boleh seseorang yang merasa shalih mengatakan kepada saudaranya dengan menyebutkan individu orang tersebut bahwa “Orang seperti fulan sudah pasti masuk neraka, orang seperti fulan sudah tidak mungkin masuk surga, orang seperti fulan tidak mungkin diampuni oleh Allah,” atau kalimat-kalimat yang semisal dengannya. Karena ucapan seperti ini mendahului keputusan Allah dan meremehkan seorang muslim, serta merasa diri sudah baik, karena hal ini dapat menyebabkan terhapusnya pahala amal.
6. Menyekutukan Allah
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Az Zumar: 65).
Imam Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan: “Maksudnya, jika engkau berbuat syirik kepada Allah wahai Muhammad, maka akan terhapus amalanmu, dan engkau tidak akan mendapatkan pahala, juga tidak mendapatkan balasan, kecuali balasan yang pantas bagi orang yang berbuat syirik kepada Allah” (Tafsir Ath Thabari, 21/322).
Kesyirikan adalah pelanggaran paling fatal kepada hak Allah azza wa jalla, sehingga shallallahu alaihi wasallam yang terjamin maksum pun terkena ancaman dalam ayat ini, apalagi kita manusia biasa yang penuh dosa.
Barangkali kita telah terhindar dari syirik besar, namun siapa yang menjamin kita bisa mengobati syirik-syirik kecil dari dalam hati kita. Syirik-syirik kecil yang apabila dibiarkan akan berpotensi menjadi syirik besar, wal ‘iyadzubillah.
Akhirnya, semoga Allah azza wa jalla memberikan kita taufik untuk senantiasa ikhlas dalam beramal dan menjauhkan kita dari dari perkara-perkara yang dapat menghapus pahala amal. Aamiin.
Disampaikan pada Khutbah Jum’at, 16 Jumadil Akhir 1442 H, oleh Ustadz Hamdani Zahid, Lc di Masjid Al Fadhl, Pesantren Islam Al-Irsyad Tengaran.
Skala Prioritas Dalam Berdoa
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam juga bersabda,
إِنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللَّهِ بِالدُّعَاءِ
“Sesungguhnya doa itu bermanfaat (memberi kebaikan) untuk yang sudah terjadi dan yang belum terjadi. Karena itu, perbanyaklah berdoa, wahai hamba Allah…” (HR. Ahmad, at-Turmudzi dan diHasankan al-Albani)
Pembaca Sekalian, Allah ta’ala memerintahkan kita untuk berdoa,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. ghafir: 60)
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apa perkara penting yang hendaknya diminta oleh seorang Muslim kepada Allah di pagi dan malam hari? Doa apa sajakah yang hendaknya dipanjatkan oleh seorang muslim terus-menerus kepada Tuhan-Nya di malam dan siang?
Jawabannya adalah: Segala yang dibutuhkan di dalam perkara agama dan dunianya.
Lalu apa saja perkara penting dan agung yang di dalamnya terkandung kebahagiaan dunia dan akhirat yang hendaknya senantiasa diminta oleh seorang hamba kepada Allah?
Perkara Pertama: Hidayah
Hendaknya seorang muslim meminta hidayah (petunjuk) kepada Allah menuju jalan yang lurus. Karena hidayah itu ada di tangan Allah azza wa jalla.
Allah ta’ala berfirman,
مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
Dalam hadits qudsi Allah ta’ala berfirman,
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua sesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.” (HR. Muslim)
Allah juga memerintahkan kita untuk meminta petunjuk menuju jalan yang lurus di setiap rakaat shalat kita baik yang wajib maupun sunnah. Yaitu ucapan firman Allah ta’ala,
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Di antara doa yang dipanjatkan oleh Nabi,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, keterjagaan, dan kekayaan” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan yang lainnya).
Perkara Ke-2: Ampunan
Hendaknya seorang muslim juga memohon ampunan kepada Allah dari dosa-dosa yang dilakukannya. Karena Allahlah satu-satunya Dzat yang maha mengampuni dosa seluruhnya bagi siapa yang bertobat.
Allah ta’ala berfirman,
وَاِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدٰى
“Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS. Thoha: 82)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 110)
Dalam hadits qudsi Allah ta’ala berfirman,
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً .
“Wahai anak Adam! Sungguh selama engkau berdoa kapada-Ku dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni semua dosa yang ada pada engkau, dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya engkau menemui-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku sedikit pun, tentulah Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi’.” (HR. at-Tirmidzi)
Di antara doa yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sebelum beliau bangkit dalam sebuah majlis, dihitung sebanyak seratus kali Rasulullah shalallahu alaihi wasalam mengucapkan,
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ
“Wahai, Rabbku! Ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha penerima taubat lagi Maha pengampun.”(HR Ahmad dalam Musnad-nya 2/21, Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits al-Shahîhah)
Perkara Ke-3: Meminta Surga
Perkara selanjutnya yang hendaknya diminta oleh seorang muslim kepada Allah adalah meminta Surga dan dijauhkan dari Neraka. Karena Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
“Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.” (QS. Ali Imron: 185)
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda,
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ الْجَنَّةُ: اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ اسْتَجَارَ مِنَ النَّارِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ النَّارُ: اللَّهُمَّ أَجِرْهُ مِنَ النَّارِ
”Siapa yang meminta Surga 3 kali, maka Surga akan berkata: ’Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam Surga.’ Dan siapa yang memohon perlindungan dari Neraka 3 kali, maka Neraka akan berkata: ’Ya Allah, lindungilah dia dari Neraka.” (HR. Ahmad, Nasai, Turmudzi dan yang lainnya. Hadis ini dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth dan dinilai shahih oleh al-Albani).
Doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam adalah,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ
“Aku memohon Surga kepada-Mu dan segala perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya. Aku berlindung kepada-Mu dari Neraka dan segala perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Perkara Ke-4: Keselamatan Dunia dan Akhirat
Berikutnya, hendaknya seorang muslim meminta pemaafan dan keselamatan di dunia dan akhirat
عن أبي الفضل العباس بن عبد المطلب -رضي الله عنه- قال: قلتُ: يا رسول الله عَلِّمْنِي شيئا أسأله الله -تعالى-، قال: «سَلُوا اللهَ َالعافية» فمكثتُ أياما،ً ثم جِئْتُ فقلتُ: يا رسول الله علمني شيئا أسأله الله -تعالى-، قال لي: «يا عباس، يا عَم رسول الله، سَلُوا الله العافية في الدنيا والآخرة».
Dari Abu al-Fadhl al-Abbas bin Abdul Mutthalib Radhiallahu anhu, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang aku minta kepada Allah ta’ala”. Beliau menjawab,“Mintalah keselamatan kepada Allah.” Lalu aku tinggal selama beberapa hari, kemudian menemui beliau lagi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah aku sesuatu yang aku minta kepada Allah ta’ala-.” Beliau berkata kepadaku, “Wahai Abbas, wahai paman Rasulullah, mintalah keselamatan kepada Allah di dunia dan akhirat.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad)
Nabi shalallahu alaihi wasalam sering berdoa,
اللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِيْ دِيْنِيْ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ…
“Ya Allah, sesungguhnya aku betul-betul memohon kepada-Mu maaf, dan ‘afiyat di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku betul-betul memohon kepada-Mu maaf dan ‘afiyat pada agamaku, keluargaku dan hartaku…” (HR. Abu Dawud dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Perkara Ke-5: Ketetapan di Dalam Agama Islam
Hendaknya seorang muslim tak lupa untuk meminta kepada Allah agar diberikan ketetapan di dalam agama Islam.
Di antara doa Nabi shalallahu alaihi wasalam adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi, Imam Ahmad dan Al-Hakim. Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi).
Do’a ini merupakan doa yang paling sering dipanjatkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasalam
Juga doa beliau shalallahu alaihi wasalam,
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Ya Allah, Yang membolak-balik hati, palingkanlah hati kami menuju ketaatan kepada-Mu” (HR. Muslim)
Perkara Ke-6: Meminta Diberikan Nikmat
Seorang muslim hendaknya meminta agar Allah terus memberikan nikmat dan berlindung dari hilangnya kenikmatan.
Di antara doa yang diucapkan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam adalah,
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng (ishmah) urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!” (HR. Muslim).
Perkara Ke-7: Ilmu yang Bermanfaat
Bagi seorang muslim hendaknya senantiasa meminta kepada Allah ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal dan amal yang senantiasa diterima.
Doa Rasululah shalallahu alaihi wasalam ketika selesai dari shalat Subuh,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu as-Sunni)
Demikian beberapa doa-doa penting yang mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat yang hendaknya kita panjatkan. Semoga Allah mudahkan kita untuk terus berdoa dan semoga ini bermanfaat. Wallahu a’lam
Arif Ardiansyah, Lc
Disadur dari kitab Al-Jami’ Fi ad dua’ tulisan Syaikh Abu Islam Shalih bin Thaha Abdul Wahid
Jika Melihat Orang Yang Terkena Musibah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ: الحَمْدُ للهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلَاءُ»
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melihat orang yang tertimpa musibah kemudian mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang diberikan kepadamu dan melebihkanku atas kebanyakan orang yang Dia ciptakan’, maka ia tidak tertimpa musibah tersebut.” (HR. at-Tirmidzi dengan sanad hasan)
Kandungan hadits secara global:
Hendaknya bagi seseorang yang melihat orang lain yang tertimpa musibah baik dari segi agamanya berupa kebid’ahan maupun yang lainnya atau dari segi dunianya berupa penyakit atau yang lainnya, dia mengucapkan,
الحَمْدُ للهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ، وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا
Barangsiapa yang mengucapkan doa tersebut, dirinya tidak akan tertimpa musibah yang ia lihat.
Faidah:
Sepatutnya doa ini diucapkan secara pelan, sehingga yang mendengar hanyalah dirinya, orang yang tertimpa musibah tersebut tidak mendengarnya, supaya tidak menyakiti hati orang yang tertimpa musibah, kecuali musibah tersebut berupa kemaksiatan, maka tidak mengapa memperdengarkan doa tersebut, sebagai bentuk peringatan baginya jika hal tersebut sekiranya tidak menimbulkan kemudharatan (bahaya).
Hikmah yang dapat diambil dari hadits:
- Disunnahkanya berdoa dengan doa yang termaktub ketika melihat orang yang tertimpa musibah;
- Barangsiapa yang melihat orang tertimpa musibah lalu ia berdoa dengan doa tersebut Ia tidak tertimpa musibah yang sama;
- Agungnya keutamaan doa tersebut di dalam hadits;
- Semangat Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam memerhatikan keselamatan umatnya dari berbagai macam penyakit;
- Agungnya kecintaan para sahabat kepada baginda Nabi yang dibuktikan dengan nukilan mereka yang menyeluruh mengenai perkataan maupun perbuatan baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Sumber: diterjemahkan dengan sedikit penyesuaian oleh Muhammad Refanza dari situs https://www.alukah.net/
Kemuliaan Akhlak Adalah Amalan Yang Paling Berat di dalam Timbangan Seorang Mukmin Pada Hari Kiamat
Definisi Akhlak
Akhlak secara bahasa berarti: Perangai dan tabiat.
Secara istilah berarti: Tatacara pergaulan seorang hamba terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para manusia lainnya.
Berakhlak Mulia Terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yang dimaksud dengan berakhlak mulia terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berserah diri hanya kepada-Nya, bersabar, ridho terhadap hukum-Nya baik dalam masalah syariat maupun takdir, dan tidak berkeluh kesah terhadap hukum syariat dan takdir-Nya.
Berakhlak Mulia Terhadap Para Manusia
Yang dimaksud dengan berakhlak mulia terhadap para manusia adalah tidak menyakiti mereka dengan lisan dan anggota badan, tersenyum di hadapan mereka, menahan amarah, sabar terhadap gangguan mereka, rendah hati, jujur, amanah, dan lain sebagainya…
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan kita untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang mulia, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.”
“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada! Iringilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya dia akan menghapuskannya! Pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia!”{{1}}
Kemuliaan Akhak Adalah Amalan Yang Paling Berat Di Dalam (MIZAN) Timbangan Seorang Mukmin Pada Hari Kiamat
Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak pernah berbicara dari hawa nafsunya, yang telah diberikan perkataan-perkataan yang sempurna telah menjelaskan kepada kita, bahwa amalan yang paling berat di dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat adalah Akhlak yang mulia, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ.”
“Tidak ada sesuatu apapun yang paling berat di dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat nanti daripada akhlak yang mulia. Sesungguhnya Allah sungguh membenci orang yang berkata kotor lagi jahat.”{{2}}
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memuji rosul-Nya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Allah berfirman:
((وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ))
((Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.)){{3}}
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling mulia akhlaknya.”{{4}}
Jika kita ingin mengetahui bagaimana akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Aisyah radhiyallahu ‘anha telah menjawab tentang pertanyaan itu, beliau berkata: “Akhlak beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al Qur’an.”{{5}}
Sesungguhnya berdakwah kepada kemulian-kemuliaan akhlak merupakan salah satu tujuan terpenting diutusnya Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.“
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlak.”{{6}}
Pertama kali yang kita harus ketahui, bahwa setiap amalan yang dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala harus diiringi dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diberikan petunjuk di dalam melaksanakan amalan tersebut. Karena manusia dengan daya dan kekuatannya tidak akan dapat mengerjakan sesuatu apapun dan tidak akan mendapatkan petunjuk sedikitpun. Karena segala sesuatu terjadi karena daya, kekuatan, dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan hal itu kepada kita di dalam firman-Nya:
((مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا))
((Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.)){{7}}
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
((وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ))
((Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali.)){{8}}
Akan tetapi kita harus perhatikan, siapa yang berhak mendapatkan petunjuk dan siapa yang berhak mendapatkan hidayah?
Bagi orang yang ingin mendapatkannya, dia harus mulai berjalan di atas jalan istiqomah sambil memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia akan mendapatkan petunjuk dan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini telah disebutkan secara jelas dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
((فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى * فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى * وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى * وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى * فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى))
((Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup{{9}}, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.)){{10}}
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
((اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ))
((Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).)){{11}}
Dari ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa seorang hamba yang ingin mendapatkan petunjuk harus mulai berjalan di atas jalan hidayah. Itulah manhaj (prinsip) para rosul yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang nabi Musa ‘alaihis salam:
((وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى))
((Dan Aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku).)){{12}}
Hal itu juga telah disebutkan secara jelas di dalam hadits qudsy, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
((يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ.))
“Wahai hamba-hamba-Ku, masing-masing kalian adalah sesat kecuali orang yang aku telah berikan pentunjuk kepadanya. Maka, mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian.”{{13}}
Oleh karena itu, apabila kita ingin membentuk kemuliakan akhlak, wajib atas kita untuk memulainya dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita memiliki tauladan yang baik dalam pribadi Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang beliau adalah sebaik-baiknya makhluk. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memohon kepada Allah untuk dimuliakan akhlaknya, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa:
“اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي.“
“Ya Allah, Engkau telah memuliakan penciptaanku, maka muliakanlah akhlakku.”{{14}}
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga selalu berdoa:
“وَاهْدِنِي ِلأحْسَنِ اْلأَخْلَاقِ لاَ يَهْدِي ِلأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إلاَّ أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ.“
“Dan berilah aku petunjuk untuk akhlak yang paling mulia (karena) tidak ada yang menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkanlah aku dari akhlak yang buruk (karena) tidak ada yang bisa menghindarkan aku darinya kecuali Engkau. Aku penuhi panggilan-Mu. Seluruh kebaikan hanya ada pada kedua tangan-Mu. Keburukan tidak dinisbatkan kepada-Mu. Aku (memohon) kepada-Mu. Aku (kembali) kepada-Mu. Engkau Mahaberkah lagi Maha-tinggi.”{{15}}
Jadi, wajib atas kita untuk memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdoa, dan merendahkan diri kepada-Nya agar Allah memberikan petunjuk bagi kita untuk menuju kemuliaan akhlak.
Judul Asli Versi Arab:
Ath Thariiq Ilaa Husni Al Khuluq
Judul Indonesia :
Meraih Surga Tertinggi Dengan Akhlak Mulia
Penulis:
Ummu Anas Sumayyah bintu Muhammad Al Ansyariyyah Hafizhahallah
Muraja’ah dan taqdim:
Fadhilah Asy Syeikh Abu Abdillah Musthafa Al ‘Adawi Hafizhahullah
Penerjemah:
Suharlan Madi Ahya, Lc
Penerbit:
Pustaka Darul Ilmi Bogor
[[1]]Hasan, diriwayatkan oleh Imam At-Tirmdzi (4/1987) dan dihasankan oleh Syeikh Al Albany dalam kitab Shahiih Al Jaami’ no. 97 dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu.[[1]] [[2]]Shahih, diriwayatkan oleh Imam At-Tirmdzi (4/2002) dan dishahihkan oleh Syeikh Al Albany dalam kitab Shahiih Al Jaami’ no. 5632 dari Abu Darda radiallahu ‘anhu.[[2]] [[3]]Al Qalam : 4.[[3]] [[4]]Shahih, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori no. 6203. Imam Muslim no. 2150.[[4]] [[5]]Shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 24080, 24774, 25285.[[5]] [[6]]Hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad no. 8729 dan Imam Al-Bukhori dalam Al Adab Al Mufrad no. 273.[[6]] [[7]]Al Kahfi : 17.[[7]] [[8]]Huud : 88.[[8]] [[9]]Yang dimaksud dengan merasa dirinya cukup ialah tidak memerlukan lagi pertolongan Allah dan tidak bertakwa kepada-Nya.[[9]] [[10]]Al Lail : 5 – 10.[[10]] [[11]]Asy Syuura : 13.[[11]] [[12]]Thaahaa : 84..[[12]] [[13]]Shahih, diriwayatkan oleh Imam Imam Muslim no. 2577 dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu.[[13]] [[14]]Shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 23871, 24695 dari Aisyah radiallahu ‘anhu.[[14]] [[15]]Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 771 dari Ali bin Abu Thalib radiallahu ‘anhu.[[15]]
KHAZANAH ILMU : MENJAGA LISAN (Dr. KH. Zakky Mubarak, MA)
“MENJAGA LISAN”
Oleh Dr. KH. Zakky Mubarak, MA
Pada era kemajuan IT, dijumpai beredarnya konsep-konsep dan topik pembicaraan dalam berbagai media massa. Dari pembicaraan yang disampaikan dalam berbagai forum, dapat kita jumpai informasi yang bermanfaat. Namun demikian, banyak juga informasi dan pembicaraan yang tidak bermanfaat, asal-asalan, dan kadang-kadang merugikan.
Islam mengajarkan umat manusia agar menjaga lisannya dengan baik, lebih banyak berdiam diri dan apabila berbicara, selalu menyampaikan hal yang baik dan terpuji.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia berbicara dengan yang terbaik atau berdiam diri.” (HR. Muslim, 173).
Berbicara yang baik dan santun akan menunjukkan kualitas dari pembicaranya dan sekaligus akan dapat menjalin persaudaraan yang baik sesama umat manusia. Keluhuran dan kebaikan yang sering diungkapkan oleh orang-orang yang bijak dan memiliki kualitas nalar yang tinggi antara lain mengarahkan agar menjaga hubungan kasih sayang sesama umat manusia, memerintahkan sesamanya agar saling berbagi, menegakkan yang ma’ruf dan melakukan perbaikan dalam semua aspek dari kehidupan bermasyarakat.
۞لَّا خَيۡرَ فِي كَثِيرٖ مِّن نَّجۡوَىٰهُمۡ إِلَّا مَنۡ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوۡ مَعۡرُوفٍ أَوۡ إِصۡلَٰحِۢ بَيۡنَ ٱلنَّاسِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوۡفَ نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa, 04:114).
Memperhatikan kenyataan ini, maka setiap individu manusia yang akan menyampaikan pembicaraan, ide, atau gagasan, hendaklah memperhatikan urgensi dari informasi yang disampaikannya. Memperhatikan juga sasaran informasi tepat atau tidak untuk audiens yang dihadapi. Sehingga gagasannya semakin berkualitas.
Karena itu, sebaiknya diperhatikan ketentuan sebagai berikut:
(1) Hindari pembicaraan yang tidak berguna. Karena informasinya akan sia-sia dan tidak akan memberikan hasil yang diharapkan.
(2) Jangan membicarakan hal-hal yang penting tidak di tempat yang semestinya. Betapa banyak orang yang berbicara penting akan tetapi tidak tepat sasarannya, akan mengakibatkan mereka banyak dicemoohkan orang lain.
(3) Janganlah bersikap terlalu baik dan terlalu santun sehingga akan diremehkan oleh orang lain. Tetapi bersikaplah secara wajar.
(4) Belajarlah untuk menghormati dan memahami perkataan orang lain apabila perkataan dan gagasan kita ingin diterima oleh mereka.
(5) Bekerjalah terus-menerus secara terpola dan tanamkan dalam diri kita sikap optimisme dengan mendapatkan balasan kebaikan di masa yang akan datang.
Semua ketentuan tersebut di atas tidak mungkin dapat dilakukan oleh seseorang apabila ia tidak mampu menjaga lisannya. Karena itu jagalah lisanmu untuk tidak berbicara apabila tidak diperlukan. Kesalahan dalam berbicara atau kekeliruan yang terus menerus akan mengantarkan seseorang pada kerugian yang mengerikan di masa yang akan datang.
Menjaga lisan atau bersikap diam, merupakan sarana pendidikan yang baik bagi diri setiap orang. Hal ini dilakukan dalam rangka mendidik secara terus menerus dan membimbing umat manusia pada kesuksesan yang maksimal dalam menyampaikan informasi.
لا يَسْتَقِيمُ إِيمانُ عبدٍ حتى يَسْتَقِيمَ قلبُهُ ، ولا يَسْتَقِيمُ قلبُهُ حتى يَسْتَقِيمَ لسانُهُ
“Tidaklah lurus (istiqamah) iman seorang hamba, sehingga lurus hatinya, dan tidak lurus hatinya, sehingga lurus lisannya.” (HR. Ahmad, 13408).
Sebagai wujud dari sikap lurus dan istiqamah, hendaklah kita meninggalkan berbagai hal yang tidak berguna.
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ اَلْمَرْءِ, تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Sebagian dari kebaikan islamnya seseorang, ia meninggalkan sesuatu yang tidak berfaedah bagi dirinya.” (HR. Tirmidzi, 2318).
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang-orang yang mampu meninggalkan (perbuatan dan perkataan yang tidak berguna) sebagai persyaratan yang kedua setelah melaksanakan shalat khusyu’, bagi orang-orang yang ingin meraih kesuksesan yang agung.
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mukminun, 23:01-03).