Sejarah, Ketentuan, dan Hikmah Disyariatkannya Ibadah Haji
Di antara pilar dalam Islam yang diwajibkan kepada umat Islam adalah melaksanakan haji ke Baitullah (Makkah). Ibadah ini merupakan rukun kelima dalam Islam dan dilakukan jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Beberapa abad sebelum kota Makkah sebagai pusat Islam dengan ditandai lahirnya Baginda Nabi, para nabi sebelumnya sudah melaksanakan haji di kota tersebut.
Sebagaimana jamak diketahui, hikmah disyariatkannya semua ibadah tidak lepas dari dua hal: (1) sebagai pengakuan bahwa dirinya sebagai hamba dan (2) sebagai ungkapan syukur pada Allah ﷻ. Ibadah haji mengandung dua hikmah ini sekaligus.
Pertama, ibadah haji adalah manifestasi penghambaan, serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya. Kedua, ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Dan, ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridhai oleh Allah ﷻ.
Mengenai dalil diwajibkannya haji ialah dalam Al-Qur’an Allah ﷻ berfirman:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya, “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam” (QS Ali ‘Imran: 97).
Dalam sebuah hadist, Rasulullah ﷺ bersabda:
أيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُم الحَجَّ فَحُجُّوا
Artinya, “Wahai manusia! Sungguh Allah telah mewajibkan haji atas kamu sekalian, maka kerjakanlah haji” (HR Muslim).
Syekh Khatib asy-Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj mengatakan, ibadah haji ke Baitullah al-Haram sudah sering dilakukan orang sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam berjalan kaki dari daratan India untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah al-Mukarramah. Sesampainya di sana, Malaikat Jibril menemuinya dan mengabarkan bahwa sesungguhnya para malaikat sudah melakukan tawaf di Baitullah selama tujuh ribu tahun. Berdasarkan pendapat ini, tidak heran apabila sebagian ulama berpendapat bahwa semua nabi pernah melakukan ibadah tersebut.
Para ulama berbeda pendapat tentang permulaan disyariatkannya ibadah haji. Ada yang mengatakan bahwa ibadah haji diwajibkan pada tahun kesepuluh Hijriah. Ada yang berpendapat bahwa haji telah diwajibkan sebelum Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah. Ada juga yang berpendapat diwajibkannya haji bertepatan pada tahun keenam setelah Hijrah. Dari beberapa pendapat tersebut, pendapat yang terakhir merupakan pendapat yang paling masyhur dan disepakati di kalangan para ulama. (Syekh Khatib asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2011], juz 1, h. 613).
Definisi dan Ketentuan Hukumnya
Secara etimologi, para ulama mengartikan haji dengan makna “bermaksud, menghendaki, atau menyengaja (qasdu)”. Sedangkan secara terminologi, haji adalah bermaksud menuju Baitullah al-Haram (Ka’bah) untuk melakukan ibadah tertentu (haji). Secara umum, hukum ibadah haji sendiri adalah fardhu ‘ain menurut kesepakatan para ulama. Namun, dalam pemilihannya, hukum haji bisa mempunyai hukum yang berbeda, sebagaimana yang disampaikan Habib Hasan bin Ahmad. Di antaranya, yaitu:
-
- Fardhu ‘ain ketika semua syarat wajib haji terpenuhi (Islam, baligh, berakal, merdeka, dan mampu). Hukum ini berlaku bagi semua umat Islam.
- Fardhu kifayah, yakni haji yang tujuannya untuk meramaikan Ka’bah pada setiap tahunnya.
- Sunnah, seperti hajinya anak kecil, budak, dan hajinya orang yang mampu berjalan kaki dengan jarak lebih dari dua marhalah (kurang lebih 89 km) dari kota Makkah.
- Makruh ketika dalam perjalanan menuju Makkah, keselamatan jiwa akan terancam.
- Haram, seperti hajinya perempuan yang pergi tanpa disertai mahramnya ketika kondisi keselamatan dirinya dalam keadaan terancam atau pergi haji tanpa adanya restu suami. (Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, Taqrirat as-Sadidah, h. 470-472).
Hikmah Disyariatkannya Haji
Hikmah disyariatkannya ibadah haji sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ibadah yang lain, seperti shalat jamaah, shalat Jumat, dan dua shalat hari raya, yaitu tampaknya persatuan umat Islam. Islam menginginkan adanya sebuah ibadah yang bisa menghilangkan sekat kaya, miskin, tampan, jelek, kulit putih, kulit hitam, atau lainnya. Di sisi Allah ﷻ, semuanya sama. Oleh karenanya, tentu adanya ibadah-ibadah yang telah disebutkan tidak lantas mempersatukan umat Islam secara mayoritas. Ibadah itu hanya bisa mempersatukan umat Islam di tempat mereka masing-masing. Tentu tidak dengan ibadah haji. Ibadah yang satu ini mampu menampung semua umat Islam yang telah memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk bersatu dalam satu baris dan satu tempat.
Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi mengatakan dalam kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, bahwa Allah ﷻ mensyariatkan ibadah haji agar umat Islam dari seantero negeri bersatu dan berkumpul di satu tempat yang sama, mengesampingkan semua perbedaan yang ada, mulai dari suku, budaya, negeri, mazhab dan lainnya. Mereka semua berkumpul di atas satu nama, yaitu Islam. Sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ
Artinya, “(Wahai Ibrahim), serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS Al-Hajj: 27).
Ketika semua umat Islam dari berbagai tempat telah berkumpul di Makkah, maka akan tercipta darinya sebuah hubungan erat dan timbulnya kasih sayang antarsatu dengan yang lainnya. Dari Indonesia akan mengenal orang Arab, begitupun sebaliknya. Orang Turki akan mengenal orang India, pun sebaliknya. Orang barat akan mengenal orang timur, pun sebaliknya. Dengannya, akan sangat tampak bahwa mereka bagaikan saudara dari ayah dan ibu yang sama. Dengannya pula, akan tercipta sebuah hubungan yang diikat oleh agama Islam dan tidak akan bisa dipisahkan oleh perbedaan ras dan suku, budaya dan bangsa.
Tidak sebatas itu, adanya perkumpulan di bawah naungan agama Islam, dengan satu ibadah, satu bacaan, dan satu tujuan, yaitu meraih ridha-Nya, mereka juga bisa berbagi kisah-kisah inspiratif dari negara mereka masing-masing, berbagi cerita perkembangan Islam dan peradaban lainnya. Sebagaimana disampaikan Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, yaitu:
وعلى الجملة فانهم يتبادلون كل ما فيه مصلحتهم الدنيوية والأخروية. وهذا هو معنى الجامعة الاسلامية التي تتخوف.
Artinya, “Oleh karenanya, sesungguhnya mereka bisa bertukar pendapat tentang kebaikan-kebaikan dunia dan akhirat. Dan ini maksud dari persatuan Islam yang ditakuti (musuh-musuh Islam).” (Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh [Bairut: Darul Fikr, 1997], juz 1, h. 123).
Semua ini merupakan salah satu manfaat disyariatkannya ibadah haji. Sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
Artinya, “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan” (QS Al-Hajj: 28).
Ada juga hikmah penting yang perlu dipahami, yaitu hikmah diletakkannya ibadah haji di kota Makkah. Selain keagungan Ka’bah yang tidak ternilai keagungan dan kemuliaannya, Makkah sendiri sebagai tempat dilaksanakannya ibadah haji mempunyai beberapa keistimewaan, sebagaimana disampaikan Syekh al-Jarjawi. Di antaranya: (1) kota Makkah merupakan tanah air Nabi Muhammad ﷺ, yaitu tempat dilahirkannya Rasulullah; (2) Makkah merupakan kota suci sekaligus menjadi awal munculnya agama Islam. Dari sinilah cahaya Islam mulai menerangi berbagai penjuru bumi; (3) dengan melakukan haji, seseorang akan mengingat perjuangan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika membangun kiblat—mengingat merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi umat Islam; (4) Makkah merupakan kota yang disucikan dan dijaga dari orang-orang yang beragama selain Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah, yaitu:
لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ
Artinya, “Tidak akan berkumpul dua agama di Jazirah Arab” (Syekh al-Jarjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, 1997, juz 1, h. 176).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya ibadah haji tidak hanya sebatas tentang ibadah biasa, lebih dari itu, adanya ibadah haji justru sebagai bukti akan persatuan dan kejayaan Islam, serta sebagai bukti kekompakan pemeluknya. Juga sebagai ajang tukar pendapat satu suku dengan suku lainnya, satu negara dengan negara lainnya. Tidak hanya itu, ketika sudah ada di Baitullah, tidak ada perbedaan antarumat Islam, semuanya sama-sama sebagai hamba Allah dengan tujuan yang sama pula. Mereka tidak dibedakan dengan berbagai identitas yang mereka miliki.
Sangat disayangkan bila semua umat Islam lupa dan tidak mengetahui semua manfaat dan hikmah luar biasa ini. Mereka melaksanakan ibadah haji hanya sebatas ingin menunaikan kewajiban belaka yang harus ia laksanakan, namun lupa akan hikmah dan manfaat luar biasa yang ada di dalamnya.